iTani Indonesia

Runtuhnya Usaha Petani Rakyat Akibat RI Masih Bergantung Impor

Peneliti Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Meli Triana menilai, liberalisasi perdagangan di tengah kemampuan sektor pertanian domestik dan daya saing yang lemah di pasar global, telah meruntuhkan banyak usaha pertanian rakyat, serta menciptakan ketergantungan impor yang tinggi. "Liberalisasi pasar pangan telah mendorong impor pangan secara berlebihan, termasuk melalui jalur ilegal sehingga secara jelas merugikan, bahkan menghancurkan pertanian rakyat," kata Meli dalam keterangan tertulisnya, Selasa (19/7/2022). Meli mencontohkan pasca krisis 1997, liberalisasi pasar kedelai dilakukan atas dorongan Dana Moneter Internasional atau IMF. Sepanjang 1998-2001, impor kedelai melonjak hampir dua kali lipat dari sebelumnya di kisaran 800.000 ton menembus 1,4 juta ton. Baca juga: Akademisi Dorong Pemerintah Tetapkan Regulasi Perlindungan Petani Periode yang sama, produksi kedelai domestik jatuh drastis dari 1,3 juta ton menjadi hanya kisaran 850.000 ton, dan sejak saat itu tidak pernah mampu bangkit kembali hingga kini. "Indonesia kini rutin mengimpor kedelai lebih dari 2 juta ton setiap tahunnya. Terakhir, pada 2021, ketika impor kedelai mencapai 2,5 juta ton, produksi kedelai nasional hanya sekitar 425.000 ton, bahkan disinyalir hanya di kisaran 240.000 ton," ungkap Meli. Meli bilang, masih bergantung pada pasar pangan global memunculkan kerentanan yang tinggi pada ketahanan dan kemandirian pangan nasional. Kerentanan terbesar datang dari ketidakpastian pasokan dan harga pangan internasional. "Lonjakan harga pangan dunia di tengah ketergantungan tinggi pada impor memunculkan kerentanan yang bahkan masih terjadi pada komoditas pangan utama yaitu beras," sambung dia. Dalam 2 dekade terakhir, sepanjang 2001-2021, harga beras impor telah melonjak dari kisaran 200 dollar AS per ton menjadi 450 dollar AS per ton. Pada rentang waktu yang sama, Indonesia tercatat beberapa kali melakukan impor beras dalam jumlah signifikan, antara lain tahun 2011 sebesar 2,8 juta ton dan 2018 sebanyak 2,3 juta ton. "Kewaspadaan menjadi keharusan ketika produksi domestik sangat ringkih. Dalam 4 tahun terakhir, produksi beras Indonesia cenderung menurun, dari 33,9 juta ton pada 2018, menjadi 31,4 juta ton pada 2021," ujar Meli. Baca juga: Pemerintah Ajak Swasta Terapkan Praktik Kemitraan dengan Petani Meli menilai bahwa kasus impor bawang putih bahkan memberi indikasi bahwa harga pangan global yang murah akan menghancurkan produsen domestik. Sebelum krisis 1997, sekitar 80 persen kebutuhan nasional mampu dipenuhi produksi domestik. Harga bawang putih impor saat itu berada di kisaran 1.000 dollar AS per ton.

Peneliti Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Meli Triana menilai, liberalisasi perdagangan di tengah kemampuan sektor pertanian domestik telah meruntuh