iTani Indonesia

Antisipasi Krisis Pangan, KTNA Usulkan Sejumlah Kebijakan Pertanian

SURABAYA — Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Timur mendorong pemerintah menerapkan sejumlah kebijakan di sektor pertanian/peternakan/perikanan guna memacu produktivitas sebagai upaya jangka panjang dalam antisipasi krisis pangan. Ketua KTNA Jatim Sumrambah menjelaskan kondisi saat ini mengalami penyempitan lahan pertanian yang tercatat sejak 2012 secara nasional mencapai 8,4 juta hektare, dan pada 2019 menyusut menjadi 7,4 juta ha sehingga dalam kurun waktu itu Indonesia kehilangan lahan pertanian 1 juta ha. “Kalau kita tetap seperti saat ini, dan tidak menyelematkan lahan pertanian maka pada 2045, lahan pertanian bisa menyusut jadi 6,3 juta ha. Sementara populasi penduduk semakin meningkat, sehingga berpotensi terjadi krisis pangan berkelanjutan,” jelasnya dalam Diskusi Panel Economy Outlook 2022, Kamis (18/8/2022). Baca Juga : Pengaturan Pupuk Subsidi Hanya Untuk Tanaman Pangan Dinilai Tepat Dia mengatakan untuk mengantisipasi penyusutan lahan pertanian, Pemprov Jatim maupun Pemkab/Pemkot harus secepatnya menentapkan lahan sawah dilindungi sehingga tidak terjadi penggerusan lahan sawah. “Pemprov juga harus kerja sama dengan pemkab/pemkot untuk membangun kembali kebudayaan pertanian karena pertanian ini adalah kultur dan budaya, serta sekolah kejuruan pertanian harus dimunculkan kembali untuk meningkatkan SDM karena rata-rata petani usia di atas 45 tahun ke atas jumlahnya 62 persen, yang muda tidak mau bekerja di pertanian,” jelasnya. Selain itu, lanjutnya, terdapat regulasi pemerintah yang menghambat produktivitas yakni Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.10 Tahun 2022 tentang tata niaga distribusi pupuk subsidi. Dalam regulasi itu dijelaskan hanya 39 komoditas yang mendapat pupuk subsidi, dan hanya pupuk Urea dan NPK yang disubsidi. Baca Juga : Pupuk Indonesia : Stok Urea dan NPK Bersubsidi Capai 857.504 Ton “Kalau sudah menjalankan Permentan itu, berarti ongkos produksi pertanian naik, yang biasanya ongkos produksi Rp10 juta/ha bisa naik jadi Rp12,5 juta/ha. Ini menjadi beban petani,” kata Sumrambah yang juga merupakan Wakil Bupati Jombang, KTNA memiliki alasan mengapa subsidi pupuk dihilangkan total, yakni karena disparitas harga pupuk subsidi dan non subsidi sangatlah jauh yakni rerata harga subsidi Rp115.000/50 kg, sedangkan non subsidi Rp500.000/50 kg. “Disparitas yang terlalu tinggi ini pasti akan menimbulkan kecurangan dalam proses distribusi. Bahkan kita temukan di beberapa daerah harga subsidi dijual di atas HET bisa Rp200.000 - Rp300.000/50 kg,” ujarnya. Baca Juga : Pupuk Bersubsidi Cuma Urea dan NPK, Pasokan ke Petani Seret Untuk itu, pemerintah perlu mengevaluasi terhadap pupuk subsidi, misalnya dengan subsidi pupuk Rp25 triliun tidak lagi dijual dengan harga Rp115.000/50 kg tetapi dinaikkan harganya untuk menekan disparitas, atau bahkan dihilangkan subisdinya. Setelah subsidi dipotong, semuanya dikembalikan untuk melakukan penetrasi pasar misalnya untuk jaminan permodalan usaha petani, bantuan teknologi dan pendampingan. “Sejumlah petani binaan KTNA sendiri tidak lagi pakai subsidi, hasilnya tetap bagus asalkan ada pendampingan teknologi. Lalu misalnya dua tahun ini kita tidak impor beras, dan harga beras kita stabil di atas Rp14.000/kg, meskipun tanpa subsidi pupuk, petani masih bisa hidup,” jelasnya. Ekonom Universitas Airlangga, Badri Munir Sukoco menambahkan di negara maju sektor agrikultur hanya berkontribusi sekitar 16 persen, sedangkan Indonesia mencapai 36,21 persen seharusnya bisa lebih potensial jika fokus digarap. “Jadi nilai tambahnya agrikultur perlu ditingkatkan dengan teknologi dan tranformasi secara struktural. Seperti yang dilakukan China, mereka mengkolaborasikan sektor industri dengan jasa. Nah agrikultur perlu dikolaborasikan dengan teknologi,” ujarnya.

Pemerintah perlu mengevaluasi pupuk subsidi dengan menaikkan harga pupuk subsidi untuk menekan disparitas bahkan dihilangkan subisdinya. Artikel ini telah tayang di Bisn